Sunday, April 12, 2015

Tetangga Itu bagaikan Keluarga (di Desa Saya)

Saya dibesarkan di suatu desa terpencil di pelosok Kuningan, Jawa Barat, dimana hubungan antar tetangga sebegitu eratnya sehinggasudah dianggap bagaikan bagian dari keluarga, setiap kali menjelang hari raya seperti Idul Fitri dan Idul Qurban, ibu saya selalu membuat penganan dan makanan kecil dengan porsi yang luar biasa banyaknya, yang bisa mengenyangkan setidaknya dua puluh orang, tentu saja bukan untuk dimakan sendiri oleh keluar ga kecil kami yang hanya berjumlah 5 orang, tetapi untuk dibagi bagikan juga kepada para tetangga yang lain, sekedar untuk berbagi kebahagiaan di hari raya.
Dan di akhir hari raya, kuantitas makanan di rumah kami bukannya berkurang, tetapi malah sering kali bertambah banyak jumlah dan macamnya, meskipun sudah dibagi bagikan ke tetangga tetangga, karena setiap kali ‘mengirim’ makanan, kami hampir selalu mendapatkan kembali makanan dengan jenis lain dari para tetangga.
Dulu saya sering ditugaskan Ibu saya untuk berkirim-kirim makanan, dengan membawa beberapa rantang(biasanya satu rantang untuk satu tetangga). Ketika menyerahkan rantang berisi makanan tersebut sang tetangga acap kali tidak langsung mengembalikan rantang tersebut dengan kosong tapi mengisi balik dengan makanan dari rumah mereka, bahkan malah diberikan lebih banyak dengan kantung tambahan, umpamanya kami mengirimkan rengginang se toples, pulang pulang bawa pisang setandan
Rasanya memiliki tetangga bagaikan keluarga serasa lebih aman, setiap masalah seringkali dengan mudah diselesaikan lebih mudah dengan bantuan tetangga, ketika ada kenduri akan lebih semarak, dan ketika ada tetangga yang dirundung duka, kita semua ikut merasakan duka tersebut dan berebutan meringankan dukanya, ketika kakek kami meninggal, kami para keluarga yang berduka seolah terima jadi, dan tidak terlalu direpotkan dengan tetek bengek seremoni pemakaman, karena para tetangga yang membantu.
Waktu berlalu, saya pun harus pergi ke kota besar untuk mengejar impian impian saya, Jakarta yang saya pilih, saya memilih kontrakan kecil untuk berteduh dari hujan dan panas di sebuah gang sempit di pelosok kota Jakarta.
Tidak terasa hampir 5 tahun saya berada disini, saya merasa lebih kuat dan mandiri, karena disini memang harus kuat, hanya ada teman dekat yang mungkin bisa membantu jika saya tertimpa kemalangan dan duka, bukan tetangga….
Kontrakan tersebut bukannya tanpa tetangga, ada beberapa puluh orang yang menghuni kontrakan tersebut, hampir semuanya sama seperti saya, pekerja yang hanya menempati kontrakan untuk tidur, beristirahat dan berteduh, tidak untuk bersosialisasi, saya sendiri seringkali teramat sangat penat untuk sekedar bertegur sapa dengan tetangga tetangga. Bahkan saya tidak kenal siapa yang menempati kontrakan sebelah, yang Cuma dibatasi sebuah dinding beton.
Kadang saya merindukan, saat saat senja hari di desa, ketika lampu lampi teras sudah mulai dinyalakan mengantar mentari senja kembali ke ufuk barat, perasaan hangat saat melangkahkan kaki saat jalan jalan sore, saat saat bertegur sapa dengan akrab dengan handai taulan dan tetangga yang berpapasan dijalan.
Saat saat saya berada ditengah keluarga….. bukan sekedar tetangga

(As Published at Kompasiana, Februari 2014)

No comments:

Post a Comment